Tahun 2015 ini, genap sudah
organisasi pencinta alam di Indonesia berumur 55 tahun. Sejak kehadirannya pada
dekade 60-an, organisasi pencinta alam di Indonesia makin meningkat dengan
pesat. Baik itu perorangan maupun kelompok. Peminatnya terus bertambah, tidak
hanya dari kota-kota besar tapi sudah tersebar keseluruh nusantara. Menurut
catatan
PIPA (Pusat Informasi Pencinta Alam, suatu wadah yang pernah didirikan oleh LIPI – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ada sekitar 1500 perhimpunan pencinta alam di Indonesia. Itu pada tahun 1995, entah sekarang, yang jelas data statistik itu pasti membengkak lagi.
PIPA (Pusat Informasi Pencinta Alam, suatu wadah yang pernah didirikan oleh LIPI – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ada sekitar 1500 perhimpunan pencinta alam di Indonesia. Itu pada tahun 1995, entah sekarang, yang jelas data statistik itu pasti membengkak lagi.
Namun seiring dengan bertambahnya
bentuk kegiatan, prestasi serta prestise meningkat, ternyata banyak sekali
perhimpunan pencinta alam yang ada sekarang tidak mengetahui sejarah asal-usul
pencinta alam itu sendiri. Kalau seseorang tidak mengetahui apa yang ia cintai,
apakah mungkin akan tumbuh rasa cinta pada sesuatu tersebut? Hal ini
mengakibatkan banyaknya perhimpunan pencinta alam yang hanya sekedar mengusung
simbol-simbol serta kebanggaan dengan memasang berbagai atribut atau aksesoris
agar nampak seperti pencinta alam, tetapi perilakunya tidak mencerminkan hal
itu.
Padahal di awal kehadirannya,
organisasi yang “lahir” di atas kemelut politik ini telah memiliki visi dan
misi yang jelas, yang paling sederhana adalah dalam pembentukan character
building. Di salah satu artikelnya yang berjudul Menaklukkan Gunung Slamet yang
terangkum dalam buku Zaman Peralihan. Soe Hok Gie (Alm.) menulis seperti ini,
“….Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan
objeknya, dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal
Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda
harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik
gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar di samping itu untuk
menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi. “Libur ini kami ingin mendaki gunung
yang berat.” Kami terangkan kepada mereka.
Berdasarkan tulisan di atas,
almarhum memahami benar bahwa orang yang bergerak dalam kegiatan outdoor
seperti ini umumnya memiliki kemampuan fisik, sikap serta intele-gensia yang
baik. Dan itu jelas merupakan modal yang bagus untuk pembangunan. Namun yang
terjadi sekarang justru kebalikannya. Banyak yang mengklaim dirinya pencinta
alam tetapi dalam kegiatan sebenarnya justru malah merusak alam. Apakah ini
bukan salah kaprah namanya ?
Asal-usul Pencinta Alam
Kelahiran pencinta alam di Indonesia
memang tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulannya. Namun yang jelas,
cikal bakal kegiatan ini mulai hadir sekitar tahun 60-an. Konon, istilah
pencinta alam itu sendiri pertama kali dikenalkan oleh (Alm) Soe Hok Gie, salah
satu pendiri Mapala UI. Namun penulis sendiri yakin, bahwa almarhum tidak akan
pernah menyangka bila istilah yang diperkenalkannya itu kelak akan masuk dalam
kosa kata Bahasa Indonesia, karena awal kehadirannya pun “Cuma” sebuah
rangkaian kecil dari sejarah politik Indonesia pada saat itu. Ketika Presiden
Soekarno semakin terpengaruh oleh Partai Komunis Indonesia, atmosfir politik di
Indonesia otomatis terpecah menjadi dua. Satu pihak yang berada di belakang
Soekarno menyebut dirinya sebagai kelompok revolusioner, sementara pihak yang tidak
sejalan dengan garis kebijaksanaan Soekarno dianggap kelompok
kontra-revolusioner atau kelompok reaksioner. Ternyata, kondisi seperti itu
merambah pula dalam dunia kampus. Mahasiswa ikut-ikutan terpecah menjadi dua,
yaitu kelompok mahasiswa revolusioner dan kontra-revolusioner.
Di antara kelompok mahasiswa yang
saling berseberangan itu, ada juga kelompok mahasiswa yang bersikap netral
meskipun lokal sifatnya. Di Jakarta, ada kelompok mahasiswa yang menamakan
dirinya Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA) serta Gerakan Mahasiswa Djakarta
(GMD). Di Bandung sendiri organisasi mahasiwa yang bersikap netral adalah
Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PM
dan Corps Studiosorum Bandungense (CBS).
Pertentangan antara dua kelompok
mahasiswa itu kian hari kian menguat frekuensinya. Masing-masing berusaha untuk
saling mempengaruhi dan saling menjegal satu sama lain. Dalam ruang lingkup
yang lebih kecil, kemelut politik yang sebenarnya akar permasalahannya justru
berada di luar kampus itu mulai “menyerang” ke dalam fakultas, tak terkecuali
Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) harus terkena pula imbasnya.
Sampai-sampai dalam pemilihan ketua senat pun, para kandidat yang muncul adalah
mahasiswa-mahasiswa yang membawa bendera-bendera organisasi tertentu. Namun
ternyata, tekanan dari kelompok revolusioner kian lama kian menguat, dan
kelompok yang netral justru malah semakin terjepit diantara kekuatan-kekuatan
tersebut.
Dalam kondisi terjepit seperti itu,
kelompok netral yang berada di FSUI mencoba untuk “menggeliat” dengan melakukan
serangkaian kegiatan-kegiatan. Baik itu di lingkungan kampus maupun di luar.
Kelompok yang semakin hari semakin banyak peminatnya itu mulai “melawan” dengan
caranya sendiri. Seperti; menyelenggarakan diskusi, memutar film dan kegiatan
lainnya. Sementara untuk kegiatan luarnya, mereka selalu memiliki agenda untuk
menyelenggarakan perjalanan bersama ke gunung-gunung maupun ke dusun-dusun
sepi. Rasa senasib sepenanggungan dalam perjalanan, terkucil dari “keramaian”
politik serta rasa terpencil itulah yang membuat mereka bersama-sama untuk
“berkeluh kesah” pada Sang Pencipta. Mereka adalah kelompok mahasiswa yang
tidak rela almamaternya (FSUI) dijadikan ajang pertarungan politik guna
kepentingan luar. Kemudian kelompok ini menamakan diri sebagai pencinta
almamater. Selain dimotori oleh (Alm) Soe Hok Gie, juga ada Herman O. Lantang,
Asminur Sofyan Udin, Edi Wuryantoro serta Maulana.
Dalam skala kecil, hikmah yang bisa
diambil oleh mereka adalah mendapatkan kawan yang senasib-sepenanggungan sementara
untuk lingkup yang luasnya, yaitu bahwa ternyata untuk mencintai dan membangun
negara tercinta tidak selalu harus dengan cara berpolitik. Masih ada cara lain
selain saling “sikut-menyikut” guna kepentingan penguasa, mendaki gunung,
misalnya.
Atas dasar pengalaman serta
penderitaan itulah yang kelak kemudian menjadi cikal-bakal organisasi yang
untuk pertama kalinya menggunakan istilah pencinta alam, yaitu Mahasiswa
Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamita FSUI. Prajnaparamita, sendiri adalah
lambang jati diri dari FSUI yang berarti dewi kesenian dan ilmu pengetahuan
dalam mitologi India, karena memang pada saat itu Mapala hanya milik FSUI. Baru
pada tahun 1971, ketika Mapala resmi menjadi bagian dari Unit Kegiatan
Mahasiswa di UI, maka para pendirinya dengan tulus melepaskan hak atas nama
Prajnaparamita itu.
Pada perkembangan selanjutnya,
ketika organisasi seperti itu mulai menjamur, para “elite” pencinta alam di
tanah air mulai merasakan bahwa sudah tiba waktunya dibentuk suatu kode etik
bagi pencinta alam. Setelah beberapa tahun dirumuskan, baru pada Gladian ke-IV
lah kode etik bagi pencinta alam dikumandangkan di Ujungpandang.
Antara Lalu dan Kini : Hakekat Yang
Telah Tergeser
Berdasarkan kisah di atas, jelaslah
kiranya bahwa fenomena kelahiran pencinta alam di Indonesia pada mulanya hanya
didasari oleh sikap “perlawanan” dan hasil “kontemplasi” dari sekelompok
mahasiswa FSUI terhadap establishment (kemapanan) atau bisa jadi juga
aktualisasi dari sikap escapisme (pelarian) dikarenakan rasa tidak berdaya,
aliensi dan anomi. Dalam lingkup kegiatannya, idealisme memang diwujudkan di
sini. Sampai sekarang pun, idealisme itu masih tetap terpelihara dengan tidak
berdirinya organisasi pencinta alam baik itu yang berada di SMU, universitas
maupun yang berdiri sendiri pada satu kekuatan atau warna politik tertentu.
Karena sampai saat ini, belum pernah kita dengar ada organisasi pencinta alam
yang demo kepada pemerintah menuntut “jatah” kursi di DPR.
Namun setelah lima puluh tahun
berlalu, idealisme dari makna serta hakekat pencinta alam itu sendiri semakin
luntur. Kode etik yang diikrarkan pada tahun 1974 kini hanya menjadi slogan
belaka atau sekedar lips service saja, karena itu baru akan dikumandangkan pada
saat kode etik itu memang perlu dibacakan. Misal; tiap diselenggarakannya
Diklatsar. Tapi ironisnya, hal itu tidak masuk pada perilaku kehidupannya
sehari-hari.
Kalau sudah begini, maka urusan
pelestarian alam yang jelas-jelas tertuang pada kode etik tersebut hanya
menjadi omong kosong belaka. “Penyakit” seperti itu kian waktu semakin merasuk
di kalangan para pencinta alam. Akibatnya adalah semakin banyaknya para
pencinta alam yang tidak menyadari keberadaan dirinya. Padahal seharusnya
mereka memiliki point yang lebih daripada orang-orang yang tidak pernah/belum
memasuki organisasi pencinta alam, khususnya soal kesadaran dan kepedulian
lingkungan hidup. Bukankan inti dari kode etik itu adalah soal kesadaran akan
alam dan upaya manusia untuk mencintai alam? Yang berarti pula mencoba untuk
mencintai Sang Pencipta lewat kegiatannya tersebut.
Sebagai bagian dari suatu masyarakat
yang lebih besar, sudah saatnya kalangan pencinta alam tidak menutup diri dari
perkembangan yang terjadi di luar dirinya. Dari tahun ke tahun, organisasi
semacam ini dituntut untuk terus berpartisipasi aktif guna mengisi pembangunan
di tanah air. Karena memasuki abad 21 ini, pilihan yang berada di depan hidung
para pencinta lam sudah semakin banyak dan kompleks sementara makna serta
hakekat dari pencinta alam itu sendiri sebagai pelestari alam telah semakin
kabur jauh, entah kemana.
Sepertinya, sudah tiba saatnya
organisasi para pencinta alam “bersatu” kembali guna mengembangkan ide serta
bentuk kegiatan yang bermanfaat dalam bentuk yang konkrit. Hal ini bukan saja
buat dirinya tetapi juga buat masyarakat, tempat dimana golongan ini hidup dan
berkembang . Terutama sekali buat “Ibunda” kita sendiri, yaitu alam terbuka,
tempat dimana kita bermain dan berkegiatan.
Salam Lestari.
By : MDS Adventure
By : MDS Adventure
0 komentar:
Posting Komentar